Jostein Gaarder: Penulis yang Terpukau Dengan Dunia

Posted on
  • by
  • AL-syaf IdNa
  • in
  • Label:


  • Penulis Norwegia Jostein Gaarder mulai dikenal di Indonesia lewat buku "Dunia Sophie". Buku ini mengajak pembacanya belajar teori filsafat melalui petualangan seru seorang anak bernama Sophie. Sembari mengikuti petualangan Sophie, pembaca tanpa sadar dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang hidup dan eksistensi manusia.

    "Dunia Sophie" diterjemahkan di 60 bahasa dan terjual lebih dari 30 juta eksemplar di seluruh dunia. Awalnya buku ini justru dimaksudkan sebagai buku nonkomersial. Jostein mengira buku itu hanya akan dibaca oleh pelajar Norwegia. "Saya tak yakin Dunia Sophie akan dibaca banyak orang, atau menghasilkan banyak uang," kata Jostein di Jakarta, 11 Oktober 2011.

    Ternyata, novel itu justru menjadi bukunya yang paling sukses dan masih terus dicetak ulang.  Padahal, Jostein mengakui, buku itu lebih banyak membahas filsafat Barat. "Seandainya saya tahu buku ini akan terjual di seluruh dunia, saya tentu akan memasukkan lebih banyak jenis filsafat ke dalamnya seperti filsafat Timur, sufisme, agama-agama," ujar penulis berusia 59 tahun ini.

    Novel pertama Jostein sebagai penulis adalah "Misteri Soliter". Kini dia telah menghasilkan setidaknya 16 buku. Delapan bukunya sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Selain "Dunia Sophie" terbitan Mizan, ada pula "Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken", "Cecilia dan Malaikat Ariel", "Maya", "Putri Sirkus dan Lelaki Penjual Dongeng", "Gadis Jeruk", "Vita Brevis" dan "Misteri Soliter".

    Jostein memulai ketertarikannya terhadap filsafat sejak masih kanak-kanak. "Sejak kecil saya merasa menjadi bagian dari misteri. Bahwa keberadaan kita di dunia adalah sebuah misteri dan saya tak tahu apa yang terjadi," katanya. 

    Pertanyaan itu disampaikan pada orang tuanya, tapi tak mendapat jawaban yang memuaskan. "Orang dewasa selalu berkata bahwa tak ada yang aneh dari keberadaan manusia di dunia. Sejak saat itu saya bertekad tak akan pernah menjadi orang dewasa, karena saya ingin selalu terpukau dengan dunia," kata dia.

    Menurutnya, orang-orang ingin menjadi penulis karena berbagai alasan. Ada yang karena suka menyusun kata-kata. Tapi Jostein menulis karena punya pesan dan pertanyaan untuk disampaikan. 

    Berikut ini adalah dialog antara Jostein dan pembacanya dalam acara temu pembaca di Gramedia Matraman, Jakarta, Selasa 11 Oktober 2011. Puluhan fans bersemangat bertanya, meminta tanda tangan dan berfoto bersama Jostein, yang menjawab pertanyaan-pertanyaan dangan jenaka.

    Enam pertanyaan pertama, Jostein menyebutkan pertanyaan tentang "Dunia Sophie" yang paling sering ditanyakan orang di seluruh dunia:

    1. Kenapa buku itu bisa laku keras?
    Saya tak tahu, tapi saya punya teori. Mungkin, buku itu laku karena narasinya. Otak manusia lebih menyukai cerita daripada informasi dalam buku teks atau ensiklopedia. Jika diberitahu data-data tentang Jakarta, saya akan tertarik tapi segera melupakannya. Beda halnya jika Jakarta dikisahkan dalam cerita.

    2. Kenapa cerita tentang filsafat?
    Karena banyak orang yang merasa filsafat itu penting dan ingin mempelajarinya, tapi tak kunjung belajar karena filsafat juga dianggap membosankan.

    3. Apakah buku itu ditulis dalam bahasa Inggris? Kenapa tidak?
    Tentu saja tidak, dan tak akan pernah. Karena Inggris bukan bahasa saya, tentunya saya lebih nyaman menulis dengan bahasa ibu.

    4. Kenapa memilih karakter anak perempuan sebagai tokoh utama?
    Kenapa tidak? Tapi Sophie artinya kebijaksanaan, sedangkan filosofi adalah keinginan untuk mencapai kebijaksanaan, yang merupakan sifat yang feminis. Kita tahu bahwa Tuhan punya sisi feminis, yang dicerminkan di Hagia Sophia di Turki, misalnya. Bahkan dalam mitologi Yunani Kuno, dewi kebijakan adalah perempuan, Athena.

    5. Kenapa kebijaksanaan adalah sifat feminis?

    Teori saya, karena perempuan selalu berusaha memahami sesuatu, sedangkan laki-laki hanya ingin dipahami. (tertawa)

    6. Tapi banyak filsuf justru berjenis kelamin laki-laki?
    Dulu, dunia sangat patriarkis. Cuma laki-laki yang boleh mengenyam pendidikan dan bersekolah. Perempuan tak boleh belajar. Bukan berarti tak ada filsuf perempuan, hanya saja mereka tak banyak dikenal. Zaman dulu sangat berbahaya jika perempuan mengemukakan pendapatnya. Misalnya waktu revolusi Perancis, seorang perempuan meminta hak politik yang sama, Robesspierre sendiri yang memenggal kepalanya. Untungnya sekarang keadaan sudah jauh, jauh lebih baik.

    Beberapa waktu lalu para blogger mengadakan Gaarderfest, dan menemukan bahwa selalu ada karakter yang menulis surat dalam buku Anda. Kenapa?

    Saya sangat tertarik dengan imajinasi manusia. Saya memang banyak menulis cerita berbingkai, dimana ada cerita di dalam cerita, dan itu dipermudah dengan metode surat. Saat seseorang menulis surat, dia tak hanya menulis tapi juga mengungkapkan dirinya melalui tulisannya. Menurut saya, itu sangat sensual.

    Tokoh Cecilia di buku "Cecilia dan Malaikat Ariel", menceritakan dirinya melalui surat. "Dunia Sophie" juga cerita berbingkai, dan Sophie bukan tokoh utamanya. Tokoh utamanya justru si Ayah yang menulis cerita tentang Sophie.

    Buku apa yang Anda anggap sebagai karya terbaik?

    Sulit menjawab pertanyaan ini, seperti bertanya kepada ayah siapa anak perempuan favoritnya. Tapi kalau harus memilih, saya pilih "Misteri Soliter". Ada juga "Gadis Jeruk" dan "Through a Glass Darkly" yang saya saya suka karakternya. Buku-buku ini seperti anak perempuan yang tak pernah saya miliki.

    Kenapa banyak buku Anda berkisah tentang anak-anak? 
    Saya memang kagum dengan anak-anak. Anak-anak selalu bertanya. Mereka adalah filsuf tanpa harus membaca aneka buku. Anak-anak punya kemampuan untuk selalu terpukau dengan dunia.

    Anda memberikan Sophie Prize untuk orang yang berprestasi di bidang lingkungan. Kenapa memilih fokus pada lingkungan?
    Seandainya saya menulis "Dunia Sophie" sekarang,  pasti buku itu akan sangat berbeda. Saya akan menulis lebih banyak tentang lingkungan. Lingkungan kita ini sebetulnya berkaitan erat dengan filsafat. Bagaimana kita akan menjaga kelestarian bumi? Itu adalah pertanyaan yang paling filosofis.

    Menjaga kelestarian lingkungan adalah tanggung jawab global, tanggung jawab kosmis kita sebagai manusia. Planet ini hanya satu-satunya di alam semesta dan harus dijaga.

    Kebetulan hasil penjualan "Dunia Sophie" menghasilkan banyak uang, maka uang itu harus digunakan untuk mendukung upaya pelestarian lingkungan. Penghargaan tahunan ini diberikan pada individu atau kelompok senilai USD 100 ribu.

    Apa impian Anda?
    Itu menjadi impian saya, menjaga lingkungan dari kerusakan. Misalnya saya dihadapkan dua pilihan: 1) saya berumur panjang dan bahagia tapi bumi rusak atau 2) saya mati sekarang tapi bumi dan isinya menjadi lestari, saya pasti pilih mati sekarang juga. Percuma hidup bahagia jika dunia rusak.

    Apa sebenarnya filsafat itu? Pandangan filsafat mana yang jadi pedoman Anda?
    Pertanyaan yang ditanyakan manusia, itulah filsafat. Pertanyaan ini terus berkembang. Misalnya dulu orang bertanya kenapa kita sakit? Ini sudah dijelaskan oleh medis. Ada apa di bulan? Sekarang sudah bisa dijawab.  Sangat menakjubkan betapa ilmu pengetahuan telah berkembang.

    Tapi tetap ada pertanyaan yang tak terjawab. Apa itu kebahagiaan? Apa yang paling berharga dalam hidup? Apa itu cinta? Kita tak bisa membentuk negara tanpa bertanya, apa itu keadilan? Setiap orang selalu bertanya hal ini, meskipun kita tak bisa berharap mengerti cinta sepenuhnya.

    Ada yang bertanya, siapa Tuhan? Apa yang terjadi setelah mati? Agama-agama --misalnya Islam, Budha, Kristen-- menjawab pertanyaan ini dengan kepercayaan. Jadi sebetulnya agama dan filsafat tidak bertentangan.

    Pertanyaan-pertanyaan itu berawal dari rasa terpukau terhadap dunia dan kehidupan. Terpukau pada dunia adalah hal yang alami muncul sejak lahir. Bahkan cucu saya yang masih bayipun menengok ke sekeliling dengan kekaguman, padahal dia belum bisa berpikir. Manusia sebenarnya terlahir sebagai filsuf, kita hanya harus menjaga rasa penasaran itu.

    Sayangnya, banyak orang dewasa yang butuh stimulan untuk merasa terpukau. Kita butuh obat, butuh hantu dan alien untuk merasa terpesona. Saya sendiri selalu merasa seperti alien. Saya melihat diri saya di cermin dan bertanya, "Siapa saya?" Saya masih terpukau.



    sumber

    0 komentar:

    Posting Komentar